Bulan Agustus ini, nggak kerasa saya sudah #hampirsetahundiDE. Anyway, ini adalah kali pertama saya merantau ke luar kota/pulau/negara/benua setelah tinggal dengan nyaman di Bandung, di mana sekolah, kampus, gereja berada di radius kurang dari 3 km saja. Tapi justru di perantauan inilah saya banyak menemukan hal- hal baru tentang Indonesia yang saya malah belum tahu sama sekali ketika masih tinggal di Indonesia.
Berawal dari salah satu mata kuliah dimana kita diminta presentasi dan salah satu topik yang harus dipresentasikan adalah tentang abu vulkanis. Langsung dong saya pilih itu, saya yakin betul kalau referensi bahasa Indonesia tentang topik tersebut bakalan melimpah (secara Indonesia terletak di Ring of Fire). Dari mengerjakan tugas itu, saya baru tahu kalau 75% penduduk Indonesia tinggal di radius <100 km saja dari gunung berapi. Nggak lupa erupsi Tambora tahun 1815 yang mengakibatkan “year without summer” di belahan bumi utara.
Di kuliah yang lain, Klimatologi, salah satu materinya adalah tentang siklus Nitrogen. Dari SD mungkin kita udah tahu kalau atmosfir kita itu tersusun dari 78% nitrogen. Tapi nitrogen itu gak selamanya melayang-layang dalam bentuk gas di angkasa. Nitrogen bertransformasi dalam siklus nitrogen (lihat gambar di bawah). Nggak cuma air, nitrogen juga ada siklusnya. Nitrogen adalah salah satu komponen asam amino, penyusun protein. Manusia bisa memperoleh nitrogen dari makanan (sayur /tanaman dan daging/telur). Nah, tanaman bisa memperoleh nitrogen dari udara melalui proses fiksasi (contohnya tanaman kacang- kacangan yang bisa “mengikat” nitrogen di udara dan langsung menggunakan nitrogen tersebut) dan melalui petir yang mengubah nitrogen menjadi senyawa yang lebih aksesibel bagi tanaman (seperti amonia).

Oke, intinya ini bukan tulisan tentang siklus geokimia. Tapi pada saat kuliah ini, profesor saya bilang fiksasi nitrogen melalui petir itu hanya cukup signifikan di negara yang banyak petir seperti … Indonesia ! Lha saya malah baru tahu tentang hal ini. Saya baru ngeh beberapa waktu lalu ketika saya denger petir untuk pertama kalinya selama di Jerman, sementara kalau di Indonesia udah bosen saking seringnya.

Saya tinggal di Essen, 1 jam saja dari perbatasan Belanda- Jerman. Salah satu hal yang sering saya lakukan sejak tinggal di sini adalah memperhatikan kata- kata /frase dalam bahasa Belanda atau Jerman yang ada padanan literalnya dalam bahasa Indonesia. Contohnya kenapa ya bahasa inggrisnya “rumah sakit” itu “hospital?” Lalu saya sadar kalau “rumah sakit” itu bahasa Jermannya “Krankenhaus” (Kranken = sakit, Haus = rumah) yang mirip sama bahasa Belandanya (ziekenhaus; zieken=sakit, haus= rumah). Nggak cuma menemukan padanan kata bahasa Indonesia, saya juga baru tahu kalau “pit”(istilah bahasa Jawa untuk “sepeda”) itu berasal dari “fiets” (bahasa Belandanya “sepeda”). Ternyata kosakata bahasa Indonesia banyak banget loanwords-nya ! Di asalkata.com saja ada 72 halaman daftar loanwords bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Belanda. Saya banyak cari tahu dari tagar #sabtunedina juga di akun twitternya Mbak Lorraine Riva .
Dari akun twitter beliau, beberapa waktu lalu saya juga menemukan artikel bahasa Belanda tentang nama – nama jalan di Bandung dan Jakarta tempo dulu. Saya jadi agak menyesal dulu waktu di Indonesia nggak banyak jalan – jalan keliling kota (lebih sering ke mall, tentu saja).
Masih banyak lagi hal tentang Indonesia yang saya temukan di sini. Mulai dari makanan Indonesia kalau lagi main ke Belanda, juga komponis – komponis Hindia Belanda yang punya karya berdasarkan musik gamelan. Tentang 2 hal ini kayaknya saya bisa bikin postingan tersendiri karena bakalan panjang banget :)) Saya jadi makin semangat belajar dan mencari tahu tentang sejarah dan budaya Indonesia. Salah satu wishlist saya mumpung lagi di sini adalah bermain dan belajar ke perpustakaan Universitas Leiden, yang katanya punya koleksi literatur Indonesia yang lengkap.
Untuk menutup tulisan ini, saya mau bilang : Selamat ulang tahun ke-72 Republik Indonesia ! Nggak apa – apa ya telat seminggu :’))


PS: Sebelum saya menulis tulisan ini, saya menemukan satu lagi istilah bahasa Jerman yang ada padanan literalnya dalam bahasa Indonesia : “jembatan keledai” !